Minggu, Agustus 31, 2008

LAPORAN KASUS SKIZOFRENIA PARANOID

Oleh:
Wayan Citra Wulan SP, Pande Made Andikayasa, Suraji Adi Purwo

STATUS PENDERITA

I. IDENTITAS PENDERITA

Nama : IGPA
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 55 th
Pendidikan : Tidak tamat SD
Pekerjaan : Tidak bekerja
Agama : Hindu
Status perkawinan : Belum menikah
Bangsa/suku bangsa : Indonesia/Bali
Alamat : Br/Desa Dausa, Kecamatan Kintamani, Bangli
Tanggal pemeriksaan : 2 November s/d 7 November 2006
Tanggal MRS : 27 Oktober 2006
Baru/ulangan : Baru

II. PEMERIKSAAN I (Saat MRS tanggal 27 Oktober 2006, pk. 16.00 WITA)

1. Keluhan Utama : Pasien berdiam diri dan tidak bicara

2. Autoanamnesis

Pasien datang dijemput oleh tim RSJ Bangli. Penampilan pasien tidak wajar, rambut acak-acakan, memakai kaos dan celana pendek yang kotor, tangan dan kaki kotor, kontak dengan pemeriksa kurang. Ketika ditanyakan nama, pasien hanya diam saja sambil melihat tempat tidur, dan tangannya memainkan seprai. Ketika ditanyakan yang lain, pasien tetap diam. Wawancara dihentikan karena pasien tidak kooperatif.

3. Heteroanamnesis (adik pasien)

Pasien dikeluhkan suka berdiam diri, jarang bicara dan sering tertawa sendiri. Pasien mulai mengidap kelainan tersebut sejak kelas 3 SD (45 tahun yang lalu). Pasien belum pernah berobat ke RS (hanya berobat ke Balian), karena ibu pasien tidak tega. Empat hari yang lalu, ibu pasien meninggal sehingga keluarga memutuskan untuk membawa pasien ke RSJ Bangli karena khawatir pasien tidak ada yang merawat dan ingin pasien segera sembuh. Pasien dikatakan sering ngumik-ngumik dan tertawa sendiri, tetapi jarang berbicara dengan orang yang tidak dikenalnya secara dekat. Bicara pasien tidak nyambung. Dikatakan pasien ketakutan jika melihat ada orang asing, apalagi jika ada keramaian, pasien hanya berdiam diri di kamar. Pasien dikatakan pernah bersekolah hingga kelas 3 SD. Ketika di sekolah, pasien sering dimarahi oleh gurunya karena tidak mau maju ke depan kelas. Pasien dikatakan sangat pemalu, keluarga tidak tahu apakah pasien pernah melihat atau mendengar hal-hal yang tidak didengar atau dilihat orang lain. Makan dan minum pasien biasa, tetapi pasien hanya mau mengambil makanannya sendiri kalau tidak ada orang di rumahnya. Pasien dikatakan bisa mandi sendiri tetapi jarang. Terakhir pasien mandi adalah 1 bulan yang lalu. Dikatakan di keluarga pasien tidak pernah ada yang menderita kelainan seperti ini. Dikatakan pasien pernah mengalami trauma psikis waktu kejadian G30S/PKI tahun 1965. Waktu itu pasien disuruh sembunyi di dalam rumah sehingga pasien tidak berani keluar.

4. Status interna

T : 140/80 mmHg
N : 92 kali permenit
R : 30 kali permenit

5. Status neurologis

Dalam batas normal

6. Status psikiatri

1. Kesan Umum : Penampilan tidak wajar, roman muka sesuai
umur, kontak dengan pemeriksa kurang.
2. Kesadaran : Jernih
3. Mood/Afek : Belum dapat dievaluasi
4. Proses Pikir
a. Bentuk pikir : belum dapat dievaluasi
b. Arus pikir : mutisme
c. Isi pikir : belum dapat dievaluasi
5. Persepsi : belum dapat dievaluasi
6. Dorongan Instingtual : insomnia ada, hipobulia ada, riwayat raptus ada
7. Psikomotor : meningkat saat pemeriksaan


7. Diagnosis Multiaksial

Aksis I : Skizofrenia paranoid (F 20.0)
Aksis II : Ciri kepribadian tertutup
Aksis III : Tidak ada diagnosa
Aksis IV : masalah berkaitan dengan lingkungan sosial
Aksis V : GAF 30-21

8. Terapi

- MRS
- Lodomer inj. p-s
- Diazepam inj. k/p
- Chlorpromazine 3x100 mg
- Trihexyphenidyl 2x2mg
- Stelazine 2x5mg

II. PEMERIKSAAN II

1. Keluhan Utama: Pasien berdiam diri dan tidak bicara

2. Autoanamnesis ( 2 - 7 November 2006 )

Pada tanggal 2 November 2006, pasien berada di kamar kelas 1 ruang IRD Bratasena dalam posisi tidur memejamkan mata, menyamping mengarah ke tembok dengan kedua lutut ditekuk, dan menekuk lengan kirinya ke atas menutupi matanya. Penampilan pasien tidak wajar, rambut acak-acakan, memakai kaos dan celana pendek. Ketika ditanyakan nama, pasien hanya diam saja. Saat dipanggil namanya pasien hanya melihat sebentar dengan wajah tanpa ekspresi dan kemudian kembali memejamkan mata dan menutupinya dengan lengan kiri. Saat pemeriksa berusaha berkomunikasi dengan pasien dengan menanyakan apakah ia sudah makan atau belum, pasien diam saja (tetap dalam sikap tubuh semula). Ia juga hanya diam saja saat ditanya bagaimana perasaannya. Wawancara dihentikan karena pasien dinilai tidak kooperatif (tidak menjawab dan hanya diam tanpa ada perubahan posisi tubuh).
Pada tanggal 3 November 2006, pasien dalam keadaan tidur dengan posisi miring menghadap tembok, kedua lutut ditekuk dan kedua tangan disatukan di dada. Ketika pemeriksa mencoba memisahkan kedua tangan pasien, pasien menolak dengan tetap berusaha mempertahankan posisi tangannya. Saat pasien diminta untuk makan, pasien hanya diam saja. Pasien kemudian dipaksa duduk di tempat tidurnya, dan pasien menurut. Untuk makan pasien harus sedikit dipaksa membuka mulut oleh pemeriksa dan makanan sedikit didorongkan. Saat makan posisi pasien agak membelakangi pemeriksa dan menghadap ke tembok. Pasien mau disuruh memegang gelas aqua dan ketika dibiarkan, pasien tidak melepasnya dan terus menghisap melalui pipet sambil kadang-kadang ditiup. Gelas tersebut baru diturunkan setelah dibantu oleh pemeriksa. Setelah selesai makan pasien kemudian tidur lagi dalam posisi yang sama seperti sebelumnya.
Pada tanggal 4 November 2006, pasien dalam posisi tidur dengan posisi miring dan kedua lutut ditekuk. Saat dipanggil namanya pasien hanya melihat pemeriksa sebentar dan kemudian berpaling dan menutup matanya. Saat dipegang tangannya, pasien menarik tangannya dan kemudian meletakkan lipatan lengan kirinya menutupi wajahnya. Pemeriksa kemudian memegang pasien sambil menyuruhnya duduk dan pasien mau duduk tapi dalam posisi duduk bersila menghadap ke tembok dengan kedua tangan disatukan dan ditaruh diatas paha. Pasien hanya sesekali mau menatap pemeriksa, pasien memalingkan mukanya ke arah yang berlawanan saat akan disuapi makan maupun diberi minum. Pasien kemudian tidur lagi dengan posisi lipatan lengan kiri melintang menutupi wajahnya dengan kedua lutut ditekuk dan tidak mau membuka mata dan melihat pemeriksa saat dipanggil namanya dan digoyangkan badannya. Saat pemeriksa berusaha meluruskan lututnya pasien tetap mempertahankan posisinya.
Pada tanggal 5 sampai 7 November 2006, pasien tertidur dengan posisi miring dan kedua lutut ditekuk dan menghadap ke tembok di sebelah kanannya. Posisi lipatan lengan kiri pasien menutupi wajahnya. Pemeriksa kemudian mencoba membangunkan pasien dengan menggoyang tangannya sambil memanggil namanya dan pasien mau melihat pemeriksa sebentar tapi kemudian ia tidur lagi dalam posisi semula. Pemeriksa kemudian berusaha membangunkan lagi dengan memanggil namanya dan menggoyang-goyang tangan dan kaki pasien tapi pasien tetap tidak mau membuka mata dan melihat pemeriksa lagi bahkan saat disuruh duduk dengan sedikit dibantu pemeriksa, pasien menolak dan tetap bertahan dalam posisinya semula.

3. Heteroanamnesis

a. Ipar dan adik pasien ( 2 November 2006 Pk 11.00 Wita )
Pasien dikeluhkan tidak mau bicara dan hanya berdiam diri di rumah. Hal ini telah terjadi selama 45 tahun sejak pasien kelas 3 SD (umur 10 tahun). Pasien selama 45 tahun tersebut tinggal berdua bersama ibunya di rumah tuanya, sedangkan ayah pasien dan adik-adiknya tinggal di kota yaitu di Singaraja. Keluarga mengatakan pasien saat kelas 3 SD disuruh maju ke depan kelas untuk menyanyi, kemudian dia diejek dan ditertawakan oleh teman-temannya dan juga sering dimarah dan dipukul oleh gurunya. Sejak saat itu pasien dikatakan tidak mau sekolah lagi dan hanya mengurung diri di kamarnya. Pasien dikatakan tidak mau berinteraksi (berkomunikasi) dengan siapapun kecuali dengan ibu dan adik kandungnya. Selama 45 tahun tersebut pasien hanya dirawat oleh ibunya.
Pasien di rumah dikatakan tidak mau keluar rumah. Ia juga tidak suka pada keramaian. Bila ada saudaranya datang untuk berkumpul dan menjenguknya, ia akan berdiam di kamarnya. Jika semua sudah pergi, baru ia akan keluar. Dikatakan dirumah pasien selain bengong-bengong, ia juga kerap tertawa sendirian, ia kadang terlihat seperti berbicara dengan seseorang tapi tidak jelas apa yang dibicarakan dan juga tidak ada orang didekatnya. Pasien hanya mau berbicara dengan ibunya. Dikatakan pembicaraan yang dilakukan antara pasien dengan ibunya hanya sebatas untuk menanyakan kebutuhan sehari-hari, misalnya, ”sudah makan atau belum.”, ”mau rokok atau tidak”. Dengan adiknyapun ia hanya berkomunikasi dengan isyarat-isyarat, misalnya jika ingin rokok ia akan bergaya seperti orang mengisap rokok kemudian menadahkan tangannya.
Pasien dikatakan lebih sering mengurung diri di kamar yang gelap dan kotor. Kalaupun keluar, masih sebatas dalam lingkungan rumah dan tidak pernah sampai keluar dari pekarangan rumah. Keluarga juga pernah mencoba memasang lampu di kamar pasien, tapi dipecahkan oleh pasien. Tidak diketahui apakah pasien tidur dengan baik atau tidak karena keluarga pasien tidak pernah benar-benar mengetahui apa yang dilakukan pasien di kamar sepanjang hari. Ibu pasien pada pagi hari setelah menyiapkan kebutuhan pasien, pergi untuk menengok kebunnya, dan baru kembali menjelang siang. Dikatakan sebelum ke kebun, ibu pasien biasanya menyediakan makanan dan minuman serta rokok untuk pasien. Pasien dikatakan akan makan bila ia merasa lapar. Pasien adalah perokok berat. Pasien jarang mandi, kalaupun mandi ia dimandikan oleh ibunya.
Pada waktu umurnya masih muda, pasien sering melempar dan memecahkan kaca rumah saudara sepupunya yang sudah lama tidak ditinggali yang masih satu halaman dengan rumahnya. Tapi dikatakan sekarang pasien sudah tidak pernah lagi berperilaku seperti itu.
Sejak pasien seperti ini, keluarga pasien tidak pernah membawanya untuk berobat ke rumah sakit. Hal ini disebabkan karena dikatakan kemungkinan orang tua pasien malu dengan anaknya, walaupun keluarga ini tergolong keluarga yang sangat mampu (karena memiliki banyak usaha di Buleleng). Pasien hanya pernah dirawat oleh dukun yang didatangkan oleh keluarga pasien dari Lombok pada saat umur pasien 23 tahun. Selama 1 minggu diberi pengobatan oleh dukun tersebut, pasien mau keluar rumah dan mau jalan-jalan diantar bersama dukun tersebut bahkan sampai ke rumahnya di Singaraja. Setelah tidak dirawat lagi oleh dukun, pasien kembali mengurung diri di rumah.
Pasien adalah anak pertama dari 12 bersaudara. Pasien tidak pernah menikah dan pendidikannya hanya sampai kelas 3 SD. Keluarga mengaku selain sakit yang sekarang, pasien tidak pernah mengalami sakit parah yang perlu dirawat di rumah sakit. Dikatakan sifat pasien pada waktu kecil agak pendiam dan juga tidak terlalu nakal.
Orang tua pasien adalah pengusaha sukses, yang dikatakan memiliki SPBU. Ayah pasien meninggal pada tahun 1980an akibat penyakit jantung dan ginjal. Ibu pasien meninggal pada tanggal 24 Oktober 2006 karena penyakit jantung. Tiga hari setelah ibunya meninggal, keluarga pasien memutuskan untuk merawat pasien di RSJ Bangli, dengan pertimbangan tidak ada lagi orang yang mengurusnya di rumah.
b. Perawat ruang Bratasena ( 2 - 7 November 2006 )
Pada tanggal 2 November 2006, pasien dikatakan ngompol, dan tidak mau minum obat. Pasien mau makan di siang hari disuapi oleh keluarganya. Pada malam hari pasien tidak mau makan dan kontak dengan perawat tidak ada. Pasien tidur hampir sepanjang hari Pada tanggal 3 November dikatakan bahwa pasien tidak ada buang air kecil, tidak mau, makan dan tidur sepanjang hari. Pasien pada malam hari sempat terbangun tapi kemudian tidur lagi. Pasien sempat buang air kecil, pasien bisa dan mau bangun sendiri ke kamar mandi pada tanggal 4 November tapi dikatakan pasien makan dan minumnya sedikit.Pada tanggal 5 November, pasien kembali tidak ada buang air kecil dan tidak ada aktivitas ke kamar mandi maupun ngompol serta tidak mau makan dan minum. Pasien tetap tidak ada buang air kecil, tidak mau makan dan minum serta hanya tidur sepanjang hari pada tanggal 6 November. Pada pk. 20.00 WITA tanggal 7 November pasien terjatuh di lantai setelah dari kamar mandi sendirian, dan hal ini diketahui karena pasien berteriak “ ahh “. Celana pasien terlihat basah seperti habis ngompol.

4. Status interna ( tanggal 7 November 2006 )

Status present : T: 150/80 mmHg N : 80 kali permenit R : 20 kali permenit
Status general
Mata : Anemia -/-, ikterus -/-, refleks pupil +/+ isokor
THT : Kesan tenang
Leher : Pembesaran kelenjar tidak ada
Thorak : Cor : S1S2 tunggal regular murmur (-)
: Po : Bronkovesikuler +/+, rhonki +/+, wheezing -/-
Abdomen : Distensi (-), bising usus (+) normal, blass (+) normal
Extremitas : Edema - -
- -
: hangat + +
+ +

5. Status neurologis

GCS : E4VxM6
Tenaga : 555 555
555 555
Tonus : normal normal
normal normal
Tropik : N N
Disuse atrophy Disuse atrophy
Reflek fisiologis : + +
+ +
Reflek patologis : - -
- -
Tremor tidak ada

6. Status psikiatri
1.Kesan Umum
Penampilan tidak wajar, roman muka sesuai umur, kontak dengan pemeriksa kurang
2.Sensorium dan Kognitif
Kesadaran : jernih
Intelegensia : belum dapat dievaluasi
Gangguan daya ingat : belum dapat dievaluasi
Insight (tilikan) : belum dapat dievaluasi
3. Mood/Afek : kosong/tumpul
4. Proses Pikir
a. Bentuk pikir : autistik
b. Arus pikir : mutisme
c. Isi pikir : belum dapat dievaluasi
5. Persepsi
a. Halusinasi : halusinasi visual ada, halusinasi auditorik ada (heteroanamnesa)
b. Ilusi : tidak ada
6. Dorongan Instingtual : insomnia tidak ada
hipobulia ada
7. Psikomotor : menurun saat pemeriksaan, stupor, negativisme,
dan fleksibilitas cerea.

III. RESUME
Pasien bernama I gede Putra Adnyana, laki-laki, berusia 55 tahun, berasal dari banjar/Desa Dausa, Kecamatan Kintamani, Bangli; beragama Hindu, suku Bali, belum menikah, pendidikan terakhir sampai kelas 3 SD, dan tidak bekerja.
Pasien datang diantar oleh keluarganya dengan keluhan tidak mau bicara dan selalu berdiam diri. Hal ini terjadi sejak 45 tahun yang lalu dan berlanjut sampai sekarang.
Pasien di rumah dikatakan tidak mau keluar rumah. Ia juga suka bengong-bengong, dan tertawa sendirian. Pasien saat kelas 3 SD disuruh maju ke depan kelas untuk menyanyi, kemudian dia diejek dan ditertawakan oleh teman-temannya dan juga sering dimarah dan dipukul oleh gurunya. Sejak saat itu pasien dikatakan tidak mau sekolah lagi dan hanya mengurung diri di kamarnya. Pasien sebelumnya tidak pernah mendapatkan pengobatan secara medis dan pernah sekali diobati oleh dukun. Pasien dikatakan adalah seorang yang pendiam dan tertutup. Selama dirawat di RSJ Bangli pasien hanya tidur tapi dalam posisi yang hampir sama setiap hari yaitu posisi miring menghadap ke tembok dengan lipatan tangan kiri menutupi wajahnya dan kedua lutut ditekuk. Pasien biasanya hanya mau sekali saja menatap pemeriksa saat dibangunkan dan setelah itu pasien akan tidur kembali dalam posisi semula dan tidak mau melihat pemeriksa dan tidak mau membuka mata lagi walaupun dipanggil beberapa kali dan tangannya digoyang-goyangkan. Pasien juga tidak mau makan dan minum. Pasien jarang BAK maupun BAB, kadang pasien akan diam-diam ke kamar mandi sendiri dan kadang terlihat celana dalam pasien basah oleh air kencing.
Dari pemeriksaan psikiatri didapatkan penampilan pasien tidak wajar, roman muka sesuai umur dan kontak dengan pemeriksa kurang. Mood penderita kosong dengan afek yang tumpul, bentuk pikir autistik, dan arus pikir didapatkan mutism. Isi pikir belum dapat dievaluasi. Dari heteroanamnesis didapatkan halusinasi auditorik dan visual, dan tidak didapatkan halusinasi taktil dan ilusi. Dorongan instingtuil insomnia tidak ada, hipobulia ada. Psikomotor menurun saat pemeriksaan, dan dapat dilihat adanya stupor, negativisme, dan fleksibilitas cerea.
Dari hasil pemeriksaan klinis, pasien didiagnosis dengan BPH grade I, neurogenic bladder, retensio urine dan suspect batu ureter sinistra. Berdasarkan hasil pemeriksaan interna, didapatkan tekanan darah penderita selama dirawat menunjukkan hipertensi. Dari hasil pemeriksaan neurologi, kaki kanan dan kiri penderita mengalami disuse atrophy. Dari hasil rontgen foto thoraks posisi PA didapatkan CTR 55%, dan corakan paru yang meningkat. Foto rontgen BOF didapatkan suspect batu ureter sinistra. Hasil pemeriksaan lab menunjukkan adanya peningkatan kadar kreatinin, asam urat dan GDA dalam darah.

IV. HASIL PEMERIKSAAN LAB
Kolesterol total : 148,9 mg%
HDL kolesterol : 63,43 mg%
LDL kolesterol : 78,5 mg%
Trigliserida : 35,31 mg%
Ureum : 22,05 mg%
Kreatinin : 1,23 mg%
Uric acid : 7,20 mg%
Alkali Fospat : 160,5 U/L
SGOT/AST : 42,66 U/L
SGPT/ALT : 37,77 U/L
Bilirubin direct : 0,64 mg%
Bilirubin total : 1,31 mg%
GDA : 149,5

V. HASIL EKG
Dalam batas normal

VI. HASIL RONTGEN :
Thoraks :
Cardio Thorax Ratio ( CTR ) = 55 %
Corakan paru meningkat
BOF :
- Suspect batu ureter sinistra

VII. DIAGNOSIS MULTIAXIAL
Axis I : Skizofrenia Katatonik (F20.2)
Axis II : Ciri kepribadian tertutup
Axis III : Hipertensi, BPH grade I, neurogenic bladder, retensio urine dan
suspect batu ureter sinistra.
Axis IV : Belum ada diagnosis
Axis V : GAF 30-21

VIII. PROGNOSIS
Mengarah buruk (dubius at malam)
Onset kronis
Ciri kepribadian tertutup
Dukungan keluarga kurang
Pemberian obat terlambat
Umur muda saat mulai sakit

IX. RENCANA PENGOBATAN
a. KIE keluarga
1.Pasien sebaiknya dibawa pulang dan dirawat dirumah karena keadaan psikiatri sudah tenang dan pasien tidak mau makan dan minum jika tidak didampingi keluarga.
2.Advis keluarga untuk konsul ke Sp B untuk penanganan BPH dan Neurogenic Bladder dan SP PD untuk penanganan Hipertensi dan kontrol ke Sp. KJ untuk pananganan kejiwaannya di RSU Singaraja.
3.Agar keluarga menyediakan waktu dan tenaga untuk merawat pasien.
b. Obat-obatan
1.Risperdal drop 2x2cc



SKEMA PERKEMBANGAN PASIEN



Keterangan:
Pasien MRS pada tanggal 27 Oktober 2006 dengan diagnosis Skizofrenia Paranoid
Pada tanggal 30 Oktober 2006, pasien dikonsul ke RSU Bangli dengan hasil
konsul:
BPH Grade I dengan Neurogenic Bladder
Retensio Urine
Suspect batu ureter sinistra
Pada tanggal 31 Oktober 2006, diagnosis berubah menjadi Skizofrenia Katatonik
Pada tanggal 7 November 2006 pasien sudah boleh pulang
Pada tanggal 8 November 2006, pasien pulang.



PERJALANAN KONDISI PASIEN SELAMA DIRAWAT


LAPORAN KASUS DERMATITIS KONTAK IRITAN

BAB I
PENDAHULUAN

Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal.1 Dermatitis kontak adalah reaksi fisiologik yang terjadi pada kulit karena kontak dengan substansi tertentu, dimana sebagian besar reaksi ini disebabkan oleh iritan kulit dan sisanya disebabkan oleh alergen yang merangsang reaksi alergi.1, 2, 3 Dermatitis kontak merupakan suatu respon inflamasi dari kulit terhadap antigen atau iritan yang bisa menyebabkan ketidaknyamanan dan rasa malu dan merupakan kelainan kulit yang paling sering pada para pekerja.4, 5
Dermatitis kontak iritan (DKI) merupakan inflamasi pada kulit yang bermanifestasi sebagai eritema, edema ringan dan pecah-pecah. DKI merupakan respon non spesifik kulit terhadap kerusakan kimia langsung yang melepaskan mediator-mediator inflamasi yang sebagian besar berasal dari sel epidermis.6 DKI dapat diderita oleh semua orang dari berbagai golongan umur, ras dan jenis kelamin. Jumlah penderita DKI diperkirakan cukup banyak terutama yang berhubungan dengan pekerjaan (DKI akibat kerja), namun dikatakan angkanya secara tepat sulit diketahui.1
DKI merupakan hasil klinik dari inflamasi yang berasal dari pelepasan sitokin-sitokin proinflamasi dari sel-sel kulit (prinsipnya kerartinosit), biasanya sebagai respon terhadap rangsangan kimia. Bentuk klinik yang berbeda-beda bisa terjadi. Tiga perubahan patofosiologi utama adalah disrupsi sawar kulit, perubahan seluler epidermis dan pelepasan sitokin.6 Iritan pada DKI meliputi yang ditemui sehari-hari seperti air, deterjen, berbagai pelarut, asam, bassa, bahan adhesi, cairan bercampur logam dan friksi. Sering bahan-bahan ini bekerja bersama untuk merusak kulit. Iritan merusak kulit dengan cara memindahkan minyak dan pelembab dari lapisan terluar, membiarkan iritan masuk lebih dalam dan menyebabkan kerusakan lebih lanjut dengan memicu inlamasi.7

DKI masih belum banyak diketahui bila dibandingkan dengan dermatitis kontak alergi (DKA). Kebanyakan artikel tentang dermatitis kontak konsern pada DKA. Tidak ada uji diagnostik untuk DKI. Diagnosis adalah berdasarkan ekslusi penyakit kutan lainnya (khususnya DKA) dan pada penampakan klinis dermatitis pada tempat yang terpapar dengan cukup terhadap iritan yang diketahui.6 Terkadang penampakan klinis DKI kronik mirip dengan DKA. Beberapa sumber menyatakan DKI kronik pada telapak tangan dan telapak kaki sulit dibedakan dengan DKA.1,8 Dalam penatalaksanaan DKI, penting bagi penderita dan dokter untuk mengetahui substansi yang menyebabkan penyakitnya tersebut sehingga dapat diberikan terapi yang lebih efisien dan efektif.7
Makalah ini membahas kasus DKI yang mengenai seorang penderita pada daerah telapak tangan dan telapak kakinya setelah terpapar substansi deterjen.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
DKI merupakan reaksi peradangan kulit nonimunologik, dimana kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses sensitisasi.1 Dermatitis kontak iritan (DKI) merupakan inflamasi pada kulit yang bermanifestasi sebagai eritema, edema ringan dan pecah-pecah. DKI merupakan respon non spesifik kulit terhadap kerusakan kimia langsung yang melepaskan mediator-mediator inflamasi yang sebagian besar berasal dari sel epidermis.6

2.2 Epidemiologi
DKI dapat diderita oleh semua orang dari berbagai golongan umur, ras dan jenis kelamin. Jumlah penderita DKI diperkirakan cukup banyak terutama yang berhubungan dengan pekerjaan (DKI akibat kerja), namun dikatakan angkanya secara tepat sulit diketahui.1 Hal ini disebabkan antara lain oleh banyaknya penderita dengan kelainan ringan tidak datang berobat, atau bahkan tidak mengeluh.
Di Amerika, DKI sering terjadi di pekerjaan yang melibatkan kegiatan mencuci tangan atau paparan berulang kulit terhadap air, bahan makanan atau iritan lainnya. Pekerjaan yang berisiko tinggi meliputi bersih-bersih, pelayanan rumah sakit, tukang masak, dan penata rambut. 80% Dermatitis tangan okupasional karena iritan, lebih sering mengenai tukang bersih-bersih, penata rambut dan tukang masak. Prevalensi dermatitis tangan karena pekerjaan ditemukan sebesar 55,6% di ICU dan 69,7% pada pekerja yang sering terpapar (dilaporkan dengan frekuensi mencuci tangan >35 kali setiap pergantian). Penelitian menyebutkan frekuensi mencuci tangan >35x tiap pergantian memiliki hubungan kuat dengan dermatitis tangan karena pekerjaan (OR=4,13). Di Jerman, angka insiden DKI adalah 4,5 setiap 10.000 pekerja, dimana insiden tertinggi ditemukan pada penata rambut (46,9 kasus per 10.000 pekerja setiap tahunnya), tukang roti dan tukang masak.6,7
Berdasarkan jenis kelamin, DKI secara signifikan lebih banyak pada perempuan dibanding laki-laki. Tingginya frekuensi ekzem tangan pada wanita dibanding pria karena faktor lingkungan, bukan genetik. Berdasarkan usia, DKI bisa muncul pada berbagai usia. Banyak kasus karena dermatitis ”diaper” (popok) terjadi karena iritan kulit langsung pada urine dan feses. Seorang yang lebih tua memiliki kulit lebih kering dan tipis yang tidak toleran terhadap sabun dan pelarut. DKI bisa mengenai siapa saja, yang terpapar iritan dengan jumlah yang sufisien, tetapi individu dengan dengan riwayat dermatitis atopi lebih mudah terserang.6,7

2.3 Etiologi
Penyebab munculnya DKI adalah bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam alkali, serbuk kayu, bahan abrasif, enzim, minyak, larutan garam konsentrat, plastik berat molekul rendah atau bahan kimia higroskopik. 1, 2, 6, 9, 10, 11 Kelainan kulit yang muncul bergantung pada beberapa faktor, meliputi faktor dari iritan itu sendiri, faktor lingkungan dan faktor individu penderita. Dapat dilihat pada tabel berikut.

Iritan adalah substansi yang akan menginduksi dermatitis pada setiap orang jika terpapar pada kulit: dalam konsentrasi yang cukup, pada waktu yang sufisien dengan frekuensi yang sufisien. Masing-masing individu memiliki predisposisi yang berbeda terhadap berbagai iritan, tetapi jumlah yang rendah dari iritan menurunkan dan secara bertahap mencegah kecenderungan untuk meninduksi dermatitis.10 Fungsi pertahanan dari kulit akan rusak baik dengan peningkatan hidrasi dari stratum korneum (oklusi, suhu dan kelembaban tinggi, bilasan air yang sering dan lama) dan penurunan hidrasi (suhu dan kelembaban rendah). Tidak semua pekerja di area yang sama akan terkena. Siapa yang terkena tergantung pada predisposisi individu (rowayat atopi misalnya), personal hygiene dan luas dari paparan. Iritan biasanya mengenai tangan atau lengan. Efek dari iritan merupakan concentration-dependent, sehingga hanya mengenai tempat primer kontak.10

2.4 Patogenesis
Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk dan mengubah daya ikat air kulit.
Kebanyak bahan iritan (toksin) merusak membran lemak keratinosit tetapi sebagian dapat menembus membran sel dan merusak lisosom, mitokondria atau komplemen inti. Kerisakan membran mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan asam arakidonat (AA), diasilgliserida (DAG), platelet actifating factor (PAF) dan inositida (IP3). AA dirubah menjadi prostaglandin (PG) dan leukotrin (LT). PG dan LT menginduksi vasodilatasi, dan meningkatkan permeabilitas vaskuler sehingga mempermudah transudasi komplemen dan kinin. PG dan LT juga bertindak sebagai kemoatraktan kuat untuk limfosit dan neutrofil, serta mengaktifasi sel mas melepaskan histamin, LT dan PG lain, dan PAF, sehingga memperkuat perubahan vaskuler.
DAG dan second messenger lain mengstimulasi ekspresi gen dan sintesis protein, misalnya interleukin-1 (IL-1) dan granulocyt-macrophage colony stimulating factor (GMCSF). IL-1 mengaktifkan sel T-penolong mengeluarkan IL-2 an mengekspresi reseptor IL-2 yang menimbulkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel tersebut.
Keratinosit juga membuatmolekul permukaan HLA-DR dan adesi intrasel- (ICAM-1). Pada kontak dengan iritan, keratinosit juga melepaskan TNFά, suatu sitokin proinflamasi yang dapat mengaktifasi sel T, makrofag dan granulosit, menginduksi ekspresi molekul adesi sel dan pelepasan sitokin.
Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik di tempat terjadinya kontak di kulit berupa eritema, edema, panas, nyeri, bila iritan kuat. Bahan iritan lemah akan menimbulkan kelainan kulit setelah berulang kali kontak, dimulai dengan kerusakan stratum korneum oleh karena delipidasi yang menyebabkan desikasi dan kehilangan fungsi sawarnya, sehingga mempermudah kerusakan sel dibawahnya oleh iritan.1

2.5 Klinis
a.Riwayat Penyakit
Riwayat yang terperinci sangat dibutuhkan karena diagnosis dari DKI tergantung pada adanya riwayat paparan iritan kutaneus yang mengenai tempat-tempat pada tubuh. Tes tempel juga digunakan pada kasus yang berat atau persisten untuk menyingkirkan DKA. Gejala subjektif primer biasanya meliputi hal-hal sebagai berikut6:
Riwayat paparan yang cukup terhadap iritan kulit
Onset gejala muncul dalam beberapa menit hingga beberapa jam pada DKI akut. Pada DKI subakut merupakan ciri iritan tertentu seperti benzalkonium klorida (ada pada disinfektak) yang mendatangkan reaksi radang 8-24 jam setelah paparan. Onset dan gejala bisa tertunda beberapa minggu pada DKI kumulatif.
Nyeri, rasa terbakar, rasa tersengat atau tidak nyaman pada fase awal.
Gejala subjektif lainnya meliputi: onset dalam 2 minggu paparan dan adalanya keluhan yang sama pada rekan kerja atau anggota keluarga lainnya. DKI okupasional biasanya terjadi pada karyawan baru atau mereka yang belum belajar untuk melindungi kulitnya dari iritan. Individu dengan dermatitis atopik (khususnya pada tangan) rentan terhadap DKI tangan.6

b.Pemeriksaan Fisik
Kriteria diagnostik primer DKI menurut Rietschel meliputi:6
Makula eritema, hiperkeratosis atau fisura yang menonjol.
Kulit epidermis seperti terbakar
Proses penyembuhan dimulai segera setelah menghindari paparan bahan iritan
Tes tempel negatif dan meliputi semua alergen yang mungkin
Kriteria objektif minor meliputi:
Batas tegas pada dermatitis
Bukti pengaruh gravitasi seperti efek menetes
Kecenderungan untuk menyebar lebih rendah dibanding DKA
Untuk kepentingan pengobatan, berdasarkan perjalanan penyakit dan gejala klinis DKI dikelompokkan menjadi DKI akut, lambat akut dan kumulatif. Ada pula bentuk DKI lainnya yaitu: reaksi iritan, DKI traumatik, DKI noneritematosa dan DKI subyektif.

Tabel 2. Perbedaan DKI Akut, Lambat Akut dan Kumulatif 1, 6



2.6 Histopatologik
Gambaran histtopatologik DKI tidak karakteristik. Pada DKI akut (oleh iritan primer), dalam dermis terjadi vasodilatasi dan sebukan sel mononuklear di sekitar pembuluh darah dermis bagian atas. Eksositosis di epidermis diikuti spongiosis dan edema intrasel dan akhirnya menjadi nekrosis epidermal. Pada keadaan berat, kerusakan epidermis dapat menimbulkan vesikel atau bila. Di dalam vesikel atau bula ditemukan limfosit atau neutrofil.1, 6 Pada DKI kronis adalah hiperkeratosis dengan area parakeratosis, akantosis dan perpanjangan rete ridges.6

2.6Diagnosis
Diagnosis DKI didasarkan anamnesis yang cermat dan pengamatan gambaran klinis. DKI akut lebih mudah diketahui karena munculnya lebih cepat sehingga penderita pada umumnya masih ingat apa yang menjadi penyebabnya. Sebaliknya DKI kronis timbul lambat serta mempunyai variasi gambaran klinis yang luas, sehingga kadang sulit dibedakan dengan DKA. Untuk ini diperlukan uji tempel dengan bahan yang dicurigai.1


2.8 Pemeriksaan Laboratorium6
Pemeriksaan kultur bakteri bisa dilakukan apabila ada komplikasi infeksi sekunder bakteri.
Pemeriksaan KOH bisa dilakukan dan sampel mikologi bisa diambil untuk menyingkirkan infeksi tinea superficial atau kandida, bergantung pada tempat dan bentuk lesi.
Uji tempel dilakukan untuk mendiagnosis DKA, tetapi bukan untuk membuktikan adanya iritan penyebab munculnya DKI. Diagnosis adalah berdasarkan eksklusi DKA dan riwayat paparan iritan yang cukup
Biopsi kulit bisa membantu menyingkirkan kelainan lain seperti tinea, psoriasis atau limfoma sel T

2.9 Penatalaksanaan
Upaya pengobatan DKI yang terpenting adalah menghindari pajanan bahan iritan, baik yang bersifat mekanik, fisis atau kimiawi serta menyingkirkan faktor yang memperberat. Bila dapat dilakukan dengan sempurna dan tanpa komplikasi, maka tidak perlu pengobatan topikal dan cukup dengan pelembab untuk memperbaiki kulit yang kering.
Apabila diperlukan untuk mengatasi peradangan dapat diberikan kortikosteroid topikal. Pemakaian alat perlindungan yang adekuat diperlukan bagi mereka yang bekerja dengan bahan iritan sebagai upaya pencegahan.
a.Dermatitis akut
Untuk dermatitis akut, secara lokal diberikan kompres larutan garam fisiologis atau larutan kalium permanganas 1/10.000 selama 2-3 hari dan setelah mengering diberi krim yang mengandung hidrokortison 1-2,5%.
Secara sistemik diberikan antihistamin (CTM 3x1 tablet.hari) untuk menghilangkan rasa gatal. Bila berat/luas dapat diberikan prednison 30 mg/hari dan bila sudah ada perbaikan dilakukan tapering. Bila terdapat infrksi sekunder diberikan antibiotik dengan dosis 3x500 mg selama 5-7 hari.12
b.Dermatitis kronik
Topikal diberikan salep mengandung steroid yang lebih poten seperti hidrokortison yang mengalami fluorinasi seperti desoksimetason, diflokortolon. Sistemik diberikan antihistamin (CTM 3x1 tablet.hari) untuk menghilangkan rasa gatal.12

2.10 Komplikasi6
Adapun komplikasi DKI adalah sebagai berikut:
DKI meningkatkan risiko sensitisasi pengobatan topikal
Lesi kulit bisa mengalami infeksi sekunder, khususnya oleh Stafilokokus aureus
Neurodermatitis sekunder (liken simpleks kronis) bisa terjadi terutapa pada pekerja yang terpapar iritan di tempat kerjanya atau dengan stres psikologik
Hiperpigmentasi atau hipopignemtasi post inflamasi pada area terkena DKI
Jaringan parut muncul pada paparan bahan korosif, ekskoriasi atau artifak.

2.11Prognosis
Prognosis baik pada individu non atopi dimana DKI didiagnosis dan diobati dengan baik. Individu dengan dermatitis atopi rentan terhadap DKI. Bila bahan iritan tidak dapat disingkirkan sempurna, prognosisnya kurang baik, dimana kondisi ini sering terjadi DKI kronis yang penyebabnya multifaktor.1,6


BAB III
KASUS

3.1 Identitas Penderita
Nama : KNY
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 19 tahun
Suku : Bali
Agama : Hindu
Alamat : Jl. P. Riau 24 Aspol Sanglah Denpasar
Pekerjaan : Pegawai swasta

3.2 Anamnesis
Keluhan utama: Kulit mengelupas
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan keluhan kulit mengelupas di ujung jari-jari kedua tangan dan telapak kaki. Keluhan ini sudah dirasakan sejak 3 bulan yang lalu. Awalnya kulit dikatakan terlihat kemerahan dan bintik-bintik merah, kemudian kulit pasien seperti bersisik dan mengelupas. Keluhan ini dikatakan muncul setelah pasien mencuci dengan detergen attack. Keluhan dikatakan sempat berkurang setelah pasien berhenti mencuci dengan tangan, namun kemudian muncul kembali beberapa minggu setelah pasien kembali mencuci menggunakan detergen dengan tangannya. Dikatakan kaki pasien juga terkena air cucian yang mengandung detergen.
Pasien juga mengeluh perih pada ujung jari-jari kedua tangannya. Keluhan ini dirasakan sejak 3 bulan yang lalu bersamaan dengan munculnya kemerahan dan pengelupasan kulit. Keluhan kulit terasa lebih tebal ada, gatal tidak ada. Keluhan timbulnya lesi yang sama pada lipatan siku dan lutut tidak ada.
Riwayat Pengobatan: pasien belum mendapatkan pengobatan sebelumnya.
Riwayat Alergi Makanan: tidak ada
Riwayat Penyakit Terdahulu: pasien pernah mengalami sakit yang sama di lokasi yang sama setelah mencuci dengan tangan menggunakan deterjen. Pasien tidak menderita asma, tidak pernah mengalami sering gatal-gatal atau kemerahan sebelumnya.
Riwayat Sosial: pasien di rumahnya sehari-hari mencuci pakaian dan perabotan dengan tangan menggunakan detergen.

3.3 Pemeriksaan Fisik
Status Present: Keadaan umum : baik
Tekanan darah : 120/90 mmHg
Nadi : 84x/menit
RR : 20x/menit
T’ax : 360C
Status General : dalam batas normal
Status Dermatologis :
Lokasi : jari-jari kedua tangan dan ujung telapak kaki
Efloresensi : tampak plak, batas tidak tegas, geografika,
dengan skuama kasar barwarna putih di atasnya dan pada
telapak kaki terdapat fisura.
Stigmata atopi : tidak ditemukan
Mukosa : dalam batas normal
Rambut : dalam batas normal
Kuku : dalam batas normal, kuku tidak dicat
Kelenjar limfe : tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening
regional maupun sistemik
Syaraf : tidak ditemukan penebalan saraf perifer dan penurunan
sensibilitas

3.4 Resume
Penderita, perempuan, 19 tahun, Hindu, Bali dengan keluhan kulit ujung jari kedua tangan dan telapak kaki mengelupas sejak 3 bulan yang lalu, awalnya bintik-bintik dan kemerahan dan berisik. Kulit dirasa tebal dan perih. Gatal tidak ada. Muncul setelah mencuci dengan detergen, sempat berkurang setelah berhenti mencuci dengan tangan, muncul lagi beberapa minggu setelah kembali mencuci menggunakan detergen dengan tangannya. Riwayat pengobatan: tidak ada. Riwayat alergi makanan: tidak ada. Riwayat penyakit terdahulu: pernah mengalami sakit yang sama di lokasi yang sama setelah mencuci dengan tangan menggunakan deterjen. Riwayat sosial: sehari-hari mencuci pakaian dan perabotan dengan tangan menggunakan detergen.

3.5 Diagnosis Kerja
Dermatitis Kontak Iritan Kronis

3.6Terapi
Desoximetasone 2,5mg%
KIE: hindari kontak dengan detergen, bila ingin mencuci untuk sementara menggunakan mesin cuci atau minta tolong anggota keluarga lain atau bila terpaksa tidak mencuci setiap hari untuk menghindari frekunsi paparan yang sering. Bila terpaksa harus mencuci, hendaknya memakai sarung tangan. Setelah mencuci, pasien disarankan membersihkan tangan dari iritan menggunakan pembersih yang ringan. Pasien disarankan secara teratur memakai pelembab kulit.

BAB IV
PEMBAHASAN

DKI merupakan reaksi peradangan kulit nonimunologik, dimana kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses sensitisasi.1 DKI sering terjadi di pekerjaan yang melibatkan kegiatan mencuci tangan atau paparan berulang kulit terhadap air, bahan makanan atau iritan lainnya. Pekerjaan yang berisiko tinggi meliputi bersih-bersih, pelayanan rumah sakit, tukang masak, dan penata rambut. 80% Dermatitis tangan okupasional karena iritan, lebih sering mengenai tukang bersih-bersih, penata rambut dan tukang masak. Berdasarkan jenis kelamin, DKI secara signifikan lebih banyak pada perempuan dibanding laki-laki.6,7 Secara epidemiologis, hal-hal tersebut di atas dapat ditemukan pada kasus ini. Pasien pada kasus ini adalah seorang wanita dimana dari hasil anamnesis pasien sehari-hari sering melakukan aktivitas mencuci yang melibatkan tangan dengan menggunakan detergen.
Iritan adalah substansi yang akan menginduksi dermatitis pada setiap orang jika terpapar pada kulit: dalam konsentrasi yang cukup, pada waktu yang cukup dengan frekuensi yang adekuat. Masing-masing individu memiliki predisposisi yang berbeda terhadap berbagai iritan.10 Pada pasien ini, lesi yang dialaminya tidak hanya diakibatkan oleh iritan yang terkandung dalam detergen, namun juga terdapat faktor lingkungan dan faktor individu yang ikut berperan dalam terjadinya lesi pada pasien.
Dari faktor iritannya, dari anamnesis dikatakan keluhan muncul sejak 3 bulan yang lalu, dan pasien sempat keluhannya berkurang ketika berupaya untuk menghindari mencuci dengan detergen, namun keluhan bertambah ketika setelah beberapa minggu pasien kembali mencuci dengan tangan menggunakan detergen. Dari kondisi tersebut dapat dilihat adanya faktor lama dan frekuensi paparan yakni adanya paparan yang berulang tapi ringan pada pasien. Dari faktor lingkungan, aktivitas mencuci menggunakan tangan yang sering setiap harinya pada pasien merupakan aktivitas yang melibatkan gesekan dan berisiko terjadinya trauma mikro serta kelembaban rendah. Dari faktor individu, keluhan yang muncul kembali dan makin bertambah berat ketika pasien kembali mencuci dengan tangan menggunakan detergen, terjadi akibat belum pulihnya sawar kulit dengan baik namun sudah disusul oleh kontak iritan berikutnya sehingga menimbulkan kelainan kulit.1,6 Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 1.


Gambar 2. Diagram Ilustrasi Hubungan Frekuensi dan Lama Pajanan pada DKI Kumulatif/Kronis. Kiri: Bila jarak waktu iritasi pertama dan berikutnya cukup lama sehingga terjadi perbaikan fungsi sawar kulit, maka tidak menimbulkan kelainan. Kanan: Bila kerusakan sawar kulit belum pulih benar sudah disusul oleh kontak iritan berikutnya, maka kelainan kulti akan timbul.(K:kerusakan; t: waktu; pk: penampilan klinis).1

Secara klinis pada kasus dapat digolongkan menjadi DKI kumulatif/kronis. Hal ini sesuai dengan hal-hal yang tercakup didalamnya yakni penyebabnya adalah iritan lemah, onset berminggu-minggu/bulan/tahun, kulit tampak kering, eritema, skuama, hiperkeratosis & likenifikasi, difus, bila terus-terusan dapat retak, fisura; adanya riwayat kontak berulang-ulang dan berhubungan dengan pekerjaan.1 Pada pasien dari anamnesis diketahui pasien mengeluh kulit mengelupas, tebal dan perih dengan onset 3 bulan yang lalu, dengan paparan detergen (iritan lemah), dan aktivitas sehari-hari sering mencuci dengan tangan menggunakan detergen. Dari pemeriksaan fisik ditemukan plak dengan skuama dan pada telapak kaki telah terdapat fisura dan tidak ditemukan kelainan di daerah fleksura.
Pada DKI, riwayat yang terperinci sangat dibutuhkan karena diagnosis dari DKI tergantung pada adanya riwayat paparan iritan kutaneus yang mengenai tempat-tempat pada tubuh. Diagnosis DKI didasarkan anamnesis yang cermat dan pengamatan gambaran klinis. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik telah diuraikan pada paragraf sebelumnya, pada penderita ini termasuk dalam DKI kronis.
Upaya pengobatan DKI yang terpenting adalah menghindari pajanan bahan iritan, baik yang bersifat mekanik, fisis atau kimiawi serta menyingkirkan faktor yang memperberat.1 Bila dapat dilakukan dengan sempurna dan tanpa komplikasi, maka tidak perlu pengobatan topikal dan cukup dengan pelembab untuk memperbaiki kulit yang kering. Apabila diperlukan untuk mengatasi peradangan dapat diberikan kortikosteroid topikal. Pemakaian alat perlindungan yang adekuat diperlukan bagi mereka yang bekerja dengan bahan iritan sebagai upaya pencegahan.1
Untuk DKI kronis, secara topikal diberikan salep mengandung steroid yang lebih poten seperti hidrokortison yang mengalami fluorinasi seperti desoksimetason, diflokortolon. Sistemik diberikan antihistamin (CTM 3x1 tablet.hari) untuk menghilangkan rasa gatal.12
Pada pasien ini obat yang diberikan adalah kortikosteroid topikal desoximetasone 2,5mg%. Hal ini sesuai untuk DKI kronis, karena desoximetasone 2,5mg% merupakan kortikosteroid potensi tinggi yang memiliki efek anti inflamasi kuat. Pasien tidak diberikan antihistamin karena pasien tidak mengalami keluhan gatal.1, 12
Pasien juga diberikan KIE untuk menghindari kontak dengan detergen, bila ingin mencuci untuk sementara menggunakan mesin cuci atau minta tolong anggota keluarga lain atau bila terpaksa tidak mencuci setiap hari untuk menghindari frekunsi paparan yang sering. Bila terpaksa harus mencuci, hendaknya memakai sarung tangan. Setelah mencuci, pasien disarankan membersihkan tangan dari iritan menggunakan pembersih yang ringan. Pasien disarankan secara teratur memakai pelembab kulit.
Adapun KIE ini bertujuan untuk menghindari pajanan iritan (detergen) dan menyingkirkan faktor yang memperberat (kekerapan, kelembaban, trauma fisik). Penggunaan pelembab kulit secara teratur dikatakan dapat mencegah DKI karena deterjen. Pemakaian pembersih yang ringan seusai melakukan aktivitas mencuci bertujuan untuk meningkatkan kebersihan pribadi dan untuk membiasakan bekerja secara hati-hati.1, 6, 7, 10
BAB V
RINGKASAN

Telah dilaporkan kasus dengan Dermatitis Kontak Iritan (DKI) Kronis pada penderita perempuan 19 tahun. DKI merupakan reaksi peradangan kulit nonimunologik, dimana kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses sensitisasi. DKI merupakan respon non spesifik kulit terhadap kerusakan kimia langsung yang melepaskan mediator-mediator inflamasi yang sebagian besar berasal dari sel epidermis. DKI sering terjadi di pekerjaan yang melibatkan kegiatan mencuci tangan atau paparan berulang kulit terhadap air, bahan makanan atau iritan lainnya. Penyebab munculnya DKI adalah bahan yang bersifat iritan. Kelainan kulit yang muncul bergantung pada beberapa faktor, meliputi faktor dari iritan itu sendiri, faktor lingkungan dan faktor individu penderita. Untuk kepentingan pengobatan, berdasarkan perjalanan penyakit dan gejala klinis DKI dapat dikelompokkan menjadi DKI akut, lambat akut dan kumulatif. Diagnosis DKI didasarkan anamnesis yang cermat khususnya adanya riwayat paparan iritan dan pengamatan gambaran klinis. Upaya pengobatan DKI yang terpenting adalah menghindari pajanan bahan iritan dan menyingkirkan faktor yang memperberat. Apabila diperlukan untuk mengatasi peradangan dapat diberikan kortikosteroid topikal.
Pada penderita ini telah digali riwayat adanya pengelupasan pada ujung jari kedua tangan dan kedua telapak kaki sejak 3 bulan, penebalan kulit, rasa perih, riwayat paparan deterjen dalam aktivitas sehari-hari. Dari pemeriksaan fisik ditemukan plak berbatas tidak tegas dengan skuama kasar putih serta pada telapak kaki juga terdapat fisura. Pada penderita ini telah diberikan pengobatan desoximetasone 2,5mg% serta KIE mengenai DKI, upaya menghindari paparan dan mencegah timbulnya kembali DKI.





DAFTAR PUSTAKA

1.Sularsito, S. A., dan Djuanda, S. Dermatitis. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta; 2005. hal:129-153.
2.Contact Dermatitis. University of Virginia Health System; 2005. Available at: http://www.w3.org/TR/xhtml1/DTD/xhtml1-transitional.dtd
3.Lehrer, M. S. Contact dermatitis. Medline Plus Medical Encyclopedia; 2006. Available at: http://www.nlm.nih.gov/medlineplus.html
4.Michael, J. A. Dermatitis, Contact. Emedicine; 2005. Available at: http://www.emedicine.com/specialties.htm
5.Schalock, P. C. Dermatitis. Merck Manual Home Edition; 2006. Available at: http://www.merck.com
6.Hogan, D. Contact Dermatitis, Irritant. Emedicine; 2006. Available at: http://www.emedicine.com/specialties.htm
7.Irritant Contact Dermatitis. DermsnetMZ; 2007. Available at: http://dermnetnz.org
8.Jovanovi, D. L. et al. Chronic Contact Allergic And Irritant Dermatitis Of Palms And Soles: Routine Histopathology Not Suitable For Differentiation. Acta Dermatoven APA Vol 12, No 4; 2003.p:127-9
9.Dermatitis, Irritant Contact. VisualDxHealth; 2007. Available at: http://visualdxhealth.com
10.A Guide To Occupational Skin Disease. In: Occupational Safety and Health Information Series. Occupational Safety and Health Service. Department of Labour Wellington. New Zealand; 1995
11.What is occupational irritant contact dermatitis? Canada’s National Occupational Health and Safety Resources; Available at: http://www.ccohs.ca
12.Dermatitis. Dalam: Pedoman Diagnosis dan Terapi Penyakit Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar. Lab/SMF. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FK Unud/RSUP Sanglah. Denpasar. Bali; 2000.